Sunday, April 29, 2007

Silaturahim Penuh Makna

fizh Kharisma

“Pusing ah, saya sudah tak punya uang lagi. Gaji suami yang cuma segitunya, dipotong ini, dipotong itu, bayar listrik, telepon, cicilan koperasi, hanya bersisa sedikit untuk kebutuhan sebulan. Susah kan mengatur uang segitu. ”

“Suami saya tuh pemalas, kalau hari libur bangunnya siang, maunya makan enak, tidak pernah mau membantu mengurus anak-anak, tidak pernah mau mendengarkan keluhan-keluhan saya”

“Suami saya sering berbohong pada saya, dia tidak perhatian pada saya, dia senang pada perempuan lain, dia.. bla bla bla…”

Dan pasti masih banyak lagi kalimat-kalimat yang sering kita dengar yang keluar dari mulut orang-orang di sekeliling kita, suara hati dan pikiran para isteri, obrolan dari sekumpulan ibu-ibu yang sedang berbelanja, cerita-cerita dari kumpulan arisan, dan tanpa mereka sadar. Mereka lupa bahwa orang yang sedang mereka bicarakan adalah orang terdekat mereka, pilihan hati mereka, tempat mereka bersandar dalam rumah tangga, orang yang seharusnya dihormati, dia adalah orang yang disebut suami.

Kurangnya rasa bersyukur kita pada limpahan rejeki yang telah diberikan oleh Allah SWT terkadang mendorong kita untuk menimpakan segala kekurangan materi ini atas kekurangmampuan suami dalam menafkahi rumah tangga. Padahal sesungguhnya semua rejeki telah diatur oleh Allah SWT, dan sebagai isteri sudah sepatutnya pula kita belajar memanfaatkan rejeki yang ada sebaik mungkin dan mendorong suami tetap bersemangat dalam bekerja serta mengingatkan suami agar tidak tergelincir untuk melakukan korupsi. Tidak sedikit korupsi dilakukan dengan alasan untuk menyenangkan dan memenuhi tuntutan kebutuhan rumah tangga, Naudzubillah... Peran isteri sebenarnya sangat besar dalam menentukan karir suami, dalam mempengaruhi sikap dan perilaku suami dan setiap keberhasilan atau kegagalan suami didalamnya terdapat campur tangan isteri baik langsung mau pun tidak langsung.

Saya teringat pada obrolan yang terjadi beberapa waktu lalu dengan seorang bapak tua yang akan mulai memasuki masa pensiun. Dia tinggal di sebuah rumah kecil jauh dari jalan besar. Saya dan suami datang berkunjung dengan niat untuk bersilaturahmi sekaligus ingin mendengar nasihat-nasihatnya. Untuk bisa sampai kerumahnya, kami harus memarkir mobil dijalan besar, naik ojeg sekitar 1, 5 km melalui jalan-jalan kecil yang tak bisa dilalui mobil, melewati gang-gang sempit yang membuat kami beberapa kali menjaga lutut agar tidak beradu dengan pagar-pagar rumah atau orang yang sedang berjalan kaki dan itu pun masih ditambah dengan perjalanan kaki yang lumayan agak jauh melalui gang-gang yang menanjak yang membuat saya hampir beberapa kali terpeleset. Saya sempat ragu apakah perjalanan ini bisa menghasilkan manfaat yang setimpal dengan apa yang kami harapkan? Kekuatiran orang yang akan kami temui tidak ada dirumah juga sempat timbul dipikiran membuat saya ingin berbalik dan pulang kembali ke rumah.namun ternyata sambutan hangat pemilik rumah mampu menghilangkan kelelahan, kekuatiran dan kecemasan yang baru saja terasa.

Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang tidak terlalu besar namun terasa kenyamanan dalam hati kami saat memasukinya, terlebih kami lihat senyum tak pernah lepas dari wajah tuanya yang bersih. Kulitnya tidak bisa dibilang putih namun jelas terlihat bersih dan bercahaya, mungkin air wudhu telah membantu membuat aura kebaikannya memancar keluar dari wajahnya sehingga menyejukkan mata kami yang memandangnya. Silaturahmi kami disambut dengan sangat baik, Bapak tua itu dengan serta merta bercerita panjang lebar mengenai kisahnya tinggal di rumah itu, bagaimana dulu dia hanya mengontrak di rumah itu hingga akhirnya rumah tersebut dibelinya beberapa tahun kemudian dengan uang yang ditabungnya.

Tak saya sangka bahwa kini dia telah memiliki empat buah rumah yang letaknya saling berjauhan, daerah tengah kota hingga daerah timur. Namun sikap tawadhunya mengarahkan dirinya dan keluarganya memilih tetap tinggal di dalam gang-gang sempit di mana rumah yang satu dengan yang lain saling menempel erat tanpa jarak. “Di sini tingkat kekeluargaannya lebih tinggi, sedangkan di perumahan atau komplek-komplek biasanya orang acuh satu sama lain dan saling bersaing sementara di lingkungan ini kami malah saling membantu dan menghargai” demikian dalihnya. “Bukan hanya itu saja, di sini ibu-ibu lebih senang berduyun-duyun ke pengajian sementara di perumahan biasanya ibu-ibu sibuk arisan atau bergerombol membicarakan orang tanpa menyadari bahwa kekurangan terbanyak mungkin ada pada dirinya” lanjutnya.

Sekali-kali ceritanya disertai dengan banyolan yang membuat kami tertawa mendengarnya. Namun terlepas dari setiap gurauan yang dia sampaikan, selalu terselip kata-kata sederhana yang sangat umum namun terkadang sulit kita tangkap sebagai kata-kata bijak pengingat sikap. Subhanallah, banyak yang biasa kita alami namun kita terlepas dari menyadari bahwa ada hikmah dari setiap kejadian. Dia bercerita bahwa pemilihan tempat tinggal menjadi faktor penentu juga bagi seseorang untuk membangun sikap mental karena lingkungan bagaimana pun memberi pengaruh pada setiap orang. Pengaruh itu bisa positif, bisa negatif tergantung bagaimana kita menyikapinya. Sebagai orang dewasa tentu saja bila lingkungan memberi pengaruh negatif kita bisa mempertahankan diri untuk tetap bersikap positif namun tumbuh kembang anak tak bisa selalu kita pantau terus menerus dan tak bisa kita pagari 100% dari lingkungan sekitarnya. Adakalanya kita membiarkan anak-anak bergaul dengan lingkungannya sedangkan mereka belum bisa membedakan apa-apa yang positif dan apa-apa yang negatif sementara kita dibatasi oleh kesibukan rumah tangga atau karir untuk selalu bisa mengawasinya.

Selanjutnya bapak tua itu juga berujar bahwa hablumminnannas juga seringkali menjadi dalih bagi ibu-ibu untuk berkumpul dengan niat bersilaturahmi, namun kadang pertemuan yang semula diniatkan untuk silaturahmi, bisa berbelok menjadi sekumpulan orang berghibah, berprasangka dan mengurusi urusan rumah tangga orang lain tanpa diminta. “MasyaAllah, yang terburuk adalah mereka membicarakan suami-suami mereka yang sesungguhnya adalah pakaian mereka sendiri, mereka membicarakan isi dapur rumah tangga mereka yang sesungguhnya tidak diperlukan karena bisa jadi itu merupakan suatu kehormatan bagi suami mereka” bukan begitu neng? Pertanyaan retoris sang bapak pada saya membuat saya hanya bisa tersenyum dan mengangguk-ngangguk sembari berpikir lebih jauh untuk coba memahami makna yang tersembunyi di balik setiap katanya.

“Selalu lebih mudah menyalahkan orang lain, selalu lebih mudah menunjuk orang lain manakala terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki. Menunjuk pada orang lain berarti kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hidayah, menyalahkan orang lain berarti kita kehilangan waktu untuk memperbaiki diri dan menjadi orang yang lebih baik. Sebelum menunjuk suami kita, sebelum menunjuk isteri kita, sebelum menunjuk orang lain, tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita memang lebih baik dari mereka? Apakah memang wudhu kita telah menyucikan tubuh kita dengan benar? Benarkah mulut kita terjaga dari ucapan tanpa prasangka? Benarkah telinga kita terhindar dari mendengar pembicaraan yang buruk? Benarkah kepala kita tidak berisikan pikiran yang tidak seharusnya? Benarkah tangan dan kaki kita terjaga dari gerakan yang menyakiti hati orang? Langkah yang salah?”

Naudzubillah, semoga kami dilindungi dari hal-hal yang tidak diridhoi oleh Tuhan, doa saya dalam hati manakala mendengar penuturan beliau.

Silaturahim kami hari itu membawa pesan makna yang dalam dihati saya, memberi keyakinan yang jauh lebih besar lagi mengenai pentingnya menjaga lidah ini, menjaga hati ini dan mendorong saya untuk lebih hati-hati dalam melangkah sehingga kehormatan keluarga bisa tetap terjaga paling tidak dimata Allah SWT.

No comments: