Tuesday, July 3, 2007

Namanya Sudah di Genggaman Allah

Hariyana Hermain, nama ini sudah tercatat dengan indah sebagai salah satu yang akan segera mengunjungi rumah Allah. Yana, demikian panggilan wanita ini, sungguh tidak menyangka dirinya mendapat kesempatan luar biasa, menunaikan umroh memenuhi panggilan Allah. Kisah Yana tentu menambah daftar panjang kisah-kisah ajaib dan mengagumkan tentang orang-orang yang pergi ke tanah suci.

Yana dipercaya oleh sahabat-sahabatnya di kelompok pengajiannya untuk menjadi bendara kelompoknya. Pengajian yang dilakukan setiap pekan itu beranggotakan sebelas orang dengan satu pembina. Selama beberapa lama pengajian berlangsung, terkumpullah uang sejumlah 1, 7 juta rupiah. Atas usulan salah seorang temannya, uang itu pun ditabung di salah satu bank syariah nasional. Bahkan temannya yang bekerja di bank tersebut juga yang membantu Yana mengurusi pembukaan rekening, termasuk mengisi formulirnya.

Maha Suci dan Kuasa Allah yang mengatur setiap jengkal perjalanan manusia, setelah beberapa lama uang itu ditanam di bank, teman Yana yang bekerja di bank tersebut memberikan kabar gembira, “Yana, nama kamu terpilih sebagai salah satu yang mendapat hadiah umroh…”

Yana senang bukan main, tak lupa ia mengucap syukur atas kehendak Allah. Namun ia menggantungkan rasa senangnya itu sejenak, karena ia sadar bahwa uang yang ditabungnya bukan miliknya sendiri, melainkan milik jamaah pengajiannya. Maka dalam kesempatan pengajian berikutnya, Yana mengantarkan berita ini ke forum. Sang pembina pun tak lupa mengucapkan syukur, meski kemudian semuanya sepakat bahwa hadiah itu belum sepenuhnya hak Yana. Sebelumnya, Yana pun sempat bertanya kepada pihak bank apakah hadiah tersebut bisa dialihkan, ternyata bisa.

Ada sebelas anggota dalam kelompok pengajiannya, dan dari sebelas itu, tujuh orang sudah pernah pergi ke tanah suci dan merelakan jatah umroh itu untuk empat yang belum pernah. Akhirnya, diundilah empat nama, termasuk nama Hariyana. Siapa pun nama yang keluar setelah dikocok, maka dialah yang akan berangkat umroh. Sungguh Allah Maha Kuasa, Maha Menentukan apa pun yang akan berlaku di muka bumi ini, ketika empat nama itu dikocok, keluarlah satu nama; Hariyana Hermain.

Semua yang hadir bertakbir seraya mengucap syukur, semakin yakin bahwa Allah sudah menggariskan semuanya. Nama Yana memang sudah berada di genggaman-Nya, Allah memang sudah menentukan memanggil Yana untuk menjumpai Allah di tanah suci.

Pelajaran Berharga Sebelum Sholat

Sudah kewajiban seorang muslim berwudhu (bersuci) sebelum sholat. Sudah pasti tidak sah seseorang yang sholat tanpa berwudhu. Nah, suatu hari saya dan seorang sahabat hendak sholat berjamaah, kemudian saya bertanya pada diri sendiri dengan suara pelan, "Eh, sepertinya saya masih punya wudhu dan belum batal. Nggak usah wudhu ah."

Mendengar suara saya tersebut, sahabat di sebalah saya berujar datar, "Wudhu lagi, biar yakin."

Saya berkeras, "Saya yakin kok belum batal. Saya tidak menyentuh wanita, juga tidak buang angin."

Sahabat saya menimpali, "Yakin? Yakin tidak bicara kasar sejak setelah sholat siang tadi? Yakin tidak berpikir negatif sejak beberapa jam tadi? Yakin tidak mendengar gunjingan?.."

Wah, terkejut saya mendengar ucapannya. Sungguh saya tidak berpikir sedalam itu. Sahabat saya hanya bicara datar, tanpa penekanan, tanpa tanda seru, tanpa mata terbelak, tetapi sungguh sangat dalam maknanya.

Bagaimana mungkin saya melupakan hakikat bersuci sebelum sholat, seperti yang diutarakan sahabat tersebut? Bagaimana bisa sedangkal itu pemahaman saya tentang bersuci? Yang batal hanya karena tersentuh atau menyentuh lawan jenis, atau tidak sah wudhu setelah 'buang angin'?

Bersuci hakikatnya ada pada jiwa, bukan semata fisik. Sebab jika hanya persoalan fisik, seseorang yang tidak keluar rumah, tidak berinteraksi dengan orang lain, yang tidak beranjak ke mana-mana setelah mandi pagi, tentu tidak kotor tubuhnya. Tetapi berwudhu tetap wajib untuknya, karena memang setiap basuhan dimaknakan pada kebersihan jiwa.

Setiap bagian tubuh yang dibasuh dalam rukun berwudhu, hendaknya dimaknakan pada kebersihan hati, pikiran, kekotoran mata, telinga, tangan dan kaki bukan pada fisiknya, melainkan pada jiwa yang menjalari semua aktivitas kehidupan seseorang.

Akhirnya, berwudhu lah saya. Sekaligus membersihkan pikiran yang dangkal ini... terima kasih sahabat...

Keyakinan

Meminta maaf dan mengalah merupakan hal yang sulit yang dilakukan oleh manusia, terlebih ketika kita meyakini bahwa yang kita lakukan adalah benar. Namun godaan untuk berkeras hati, merasa diri paling benar adalah suatu pilihan yang bisa kita ambil kalau kita mau. Walau tentu saja berlembut hati, merasa diri juga tidak suci dan penuh khilaf merupakan pilihan lain yang mungkin justru perlu diperhitungkan untuk menyelesaikan suatu masalah. Dan itu adalah pilihanku saat ini.

Ketika ku-klikmouse untuk mengirim email permohonan maaf dan pernyataan bersalah bisa kurasakan pertentangan dalam hati bahwa mungkinkah ini langkah yang bijak? Sudah benarkah keputusanku? Yakinkah ini jalan yang terbaik?

Dan pikiranku mulai menuntunku.. untuk yakin.. untuk belajar kuat.. untuk bisa ikhlas.. semata-mata demi yang terbaik bagi orang lain, dan tentu saja ujungnya adalah bagi pertumbuhan hatiku sendiri. Ikhlas itu tidak mudah, .. sangat sulit bahkan.. karna kita melawan ego kita sendiri ketika kita yakin yang kita lakukan tak ada niat buruk sama sekali.

Ketika beberapa hari kemudian kutemui bahwa keputusan mengirim email itu justru merupakan langkah yang dimanfaatkan lawan untuk meyakinkan publik bahwa dirinya hanyalah korban.. maka kembali otak dan hati ini berputar dan meragukan kembali keputusan yang telah diambil... sempat menyesali kenapa harus kukirim email itu.. karena malah semakin mempersulit langkahku.. malah jadi menyakiti hatiku..

Tapi alhamdulillah.. tak lama setelah keluh kesahku pada Allah, seorang kawan mengirim sms: “Allah tidak pernah tidur, Dia tahu apa yang terlihat dan terdengar walau samar.. Allah menilai manusia dari niatan dan apa yang tersembunyi di hatinya.. sementara manusia hanya tau dari apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar saja padahal itu sangat rapuh”.

Pesan singkat itu kembali menguatkanku.. sms itu memberiku semangat baru untuk tetap teguh dengan apa yang telah kuputuskan dan kuyakini..

Subhanallah, ketenangan batin justru lebih terasa nikmatnya saat kesulitan bisa kita hadapi dengan ketulusan dan pasrah hanya kepada keputusan Allah. Segala penilaian manusia lain menjadi terasa tidak penting lagi manakala kita menyadari bahwa manusia lain juga seperti kita, terbatas ilmu, terbatas pengetahuan dan terbatas kemampuan. Semoga Allah selalu menjaga hati umat muslim. Amin

SMS Penguat Hati

“Allah tidak akan menguji seseorang diluar batas kemampuannya. Allah Maha Mengetahui yang terbaik bagi umatNya. Kitalah yang harus bisa ambil hikmahnya, agar tak sia-sia waktu yang kita habiskan tiap harinya. Cinta ayah pada mama dan anak-anak akan menguatkan ayah! Sun.”

Barisan kalimat sms itu membuat hatiku bergelenyar, rasa rindu kian menusuk-nusuk menuntun tetesan air mata jatuh dipipi. Tak peduli aku ini lelaki, tak peduli seharusnya aku lebih kuat, kenyataannya aku merasa begitu lemah, rasanya tak sanggup berpisah jauh dan lama dari anak-isteri.

Tiap hari hanya menghitung waktu, 3 bulan sudah aku di sini, Soroako, kota kecil dikelilingi danau. Sendiri. Anak dan isteriku tinggal di Bandung. Isteriku bekerja dan masih ikatan dinas sehingga ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya untuk ikut bergabung denganku di sini. Mutasi kali ini terasa berat sekali, entahlah, mungkin karena memang sejak awal aku berharap hanya mutasi di pulau Jawa saja brangkali.

Kusadari bahwa sms-ku pada isteriku tiap hari hanya berisikan keluhan atas ketidaknyamananku, kesepianku dan kejenuhan yang terasa membebaniku. Dan isteriku tak pernah melewatkan satu pun sms-ku tanpa balasannya. Dengan kalimat yang sama, “semoga ayah kuat dan sabar” selalu kalimat itu dan dengan sedikit kesal selalu kujawab dengan kalimat datar “ya mang itu kan yang harus ayah lakukan, sabar.”

Dan setelah itu biasanya isteriku tak membalas, seakan menunggu waktu yang tepat agar itu terlupakan dan tidak membuatku emosi. Dia sangat mengenal seluruh kebiasaanku, kadang bahkan bisa menerka rencana tindakanku.

Pernah suatu waktu aku kembali mengeluh, menyatakan ingin segera pulang dan sepintas menyebutkan angan2ku bahwa aku ada keinginan untuk keluar kerja saja dan mencari kerja baru di Bandung agar kami bisa selalu bersama. Dia malah mempertanyakan kesiapanku bila nanti ternyata malah jadi pengangguran mengingat cari kerja saat ini tidaklah mudah dan untuk usiaku yang telah menginjak angka 37 tentulah sangat sulit.

Saat itu aku merasa dia tak lagi mementingkan kebersamaan, dia pasti ketakutan aku tidak memberinya nafkah dan mungkin juga malu bila punya suami pengangguran. Tapi nyatanya dia langsung menelponku dan dengan suaranya yang kekanakan dia berkata: ”

Ayah jangan salah paham dulu ya, mama ga takut loh jatuh miskin bila itu kehendak Allah. Mama juga gak akan gengsi punya suami pengangguran bila hal itu memang yang terbaik buat keluarga kita. Mama cuma takut ayah salah ambil keputusan dan menyesalinya kemudian. Mama cuma kuatir ayah seneng aja tinggal bareng lagi ama kita untuk 2-3 bulan dan sementara itu kalo ayah masih nganggur ato belum dapet kerja ntar ayah jadi rendah diri ato meributkan mama yang kerja dari pagi dan pulang sore setiap harinya. Mama siap ko apapun keputusan ayah, selama ayah siap dengan segala resikonya”.

Duh, dia selalu tahu bagaimana menghadapi situasi, atas hal itu aku memujanya.

Dan hari ini, saat hari libur seperti ini, kesepian dan kejenuhan terasa berlipat-lipat lebih daripada hari-hari kerja. Lagi-lagi tanpa kusadari aku kembali mengirim sms yang menceritakan kesepian, kebosanan dan kepasrahan atas kondisi yang ada. Dan seperti itulah jawabannya. Namun kali ini terasa beda di hatiku, dipikiranku. Mungkin benar seperti katanya bahwa ini pastilah yang terbaik bagiku, bagi kami karena Allah-lah yang telah menentukan situasi ini.

Dan kucoba yakini hatiku demi rasa cinta yang ada bahwa perjalanan ini hanyalah sebuah episode saja yang nantinya akan berakhir bahagia. Kesabaran isteriku seharusnya menjadikanku lebih sabar lagi dan kekuatannya tentulah telah membuatku lebih kuat lagi selama ini.. Aku tak mau lagi menyia-nyiakan waktu yang tersisa di sini hanya untuk termenung. Pastilah ujian ini akan ada akhirnya dan kusiapkan diriku untuk jadi lebih baik lagi manakala ada saatnya bagi kami untuk bertemu dan bersatu kembali.

Kekuatan Kata-Kata

Seorang teman berujar dengan candanya “bersyukurlah di tubuhmu yang kecil terdapat jiwa yang besar, hati yang kuat dan kesabaran yang tak biasa... Sementara di tempat lain, ada yang bertubuh besar namun memiliki jiwa yang kecil, hati yang lemah dan pikiran yang sempit”. Saya tertawa dan mengatakan padanya bahwa pada akhirnya dia tega juga membicarakan hal yang sifatnya fisik. Tubuh saya memang tidak tinggi. Dia segera mengkoreksi pandangan saya terhadap kata-katanya walau sebenernya kami sama tau bukan itu yang menjadi titik persoalan dan saya hanya menanggapi semua itu dengan canda.

Dia kembali mengingatkan saya bahwa kata-katanya dimaksudkan untuk memastikan bahwa “Tuhan itu Maha Adil” dan keadilan Tuhan tidak bisa diukur dengan kesempurnaan segala sesuatu… tapi justru diukur dengan keseimbangan yang ada... Dengan kekurangan yang disertai kelebihan atau sebaliknya.

“Ujian sesungguhnya adalah ujian kehidupan, bagaimana kita belajar menerima dan menyikapinya dengan baik merupakan proses yang harus dilalui jika ingin sukses.. dan kamu sungguh luar biasa mampu melalui semua masalah itu…aku kagum, kamu hebat…” pujian terus mengalir dari bibirnya sampai saya tak bisa lagi mendengarkan. Sibuk tercenung dengan kata-katanya.. menilai ketulusan dari nada suaranya.. berusaha menangkap canda dari untaian kalimatnya…

“udah ah, becanda melulu..”

“aku serius… serius banget… aku bicara jujur… kamu luar biasa! Aku mengenal kamu bertahun-tahun… melihat dan mendengar kemajuan pesat dalam hidupmu.. baik itu secara mental, spiritual dan finansial”

Saya tertawa. Harus saya akui, penghargaannya pada diri saya telah menambah nilai bagi saya pribadi. Kata-katanya telah menambah kekuatan. Saya yang merasa orang biasa, tiba-tiba merasa menjadi luar biasa hanya karena dia mengatakan bahwa saya ‘luar biasa’ dan tiba-tiba ada kekuatan yang mendorong agar saya berusaha menjadi luar biasa.

Dampak sebuah kata-kata memang menakjubkan. Kata-kata negatif mau pun positif yang keluar dari mulut kita atau kita dengar di telinga kita tentunya secara signifikan akan memberi hasil yang berbanding lurus sehingga kita harus hati-hati dalam menyaring kata-kata.

Tiba-tiba saya ingin segera bertemu anak-anak dan mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak yang luar biasa… (semoga kata-kata itu mampu menyemangati mereka untuk berusaha menjadi anak yang luar biasa bagi lingkungan sekitarnya. Tentunya dalam arti yang positif J )

“Terus berjuang dan tetap semangat” adalah kata-kata indah yang disampaikan seorang teman pada saya. Memang hanya sekedar kata-kata namun mampu membentuk sebuah sikap. Terima kasih atas waktu, dorongan semangat, doa dan keyakinan yang diberikan. Dan semoga persahabatan ini semata-mata adalah ketulusan rasa….

Renungan Malam

Betapa risaunya hati terbuai dunia, sering kali ia membuat lupa. Kesibukan tiada henti, tak berkurang setiap hari. Betapa lelah diri ini…

Malam itu setelah semua cinta tertidur, kucoba merenung tentang sebuah kehidupan yang telah dan sedang aku jalani. Tanpa rencana aku dengarkan sebuah lagu yang cukup membuatku tersentuh. Lagu itu tenang dihiasi tampilan gambar kematian. Dalam keheningan malam aku terdiam merenungkan salah satu baitnya.

Each soul has its given date who knows tomorrow could be your day Come on my brothers let's pray Decide now, do not delay

Kematian, mungkin besok datang menjemput, siapa yang tahu. Cukuplah itu menjadi pengingat walau sejenak. Zikrul maut memang cara mujarab untuk sejenak melupakan hiruk pikuk kesibukan dunia. Walau bukan satu-satunya cara, namun melihat jasad tak berdaya terbalut kafan sering kali membuat hati ini tertunduk.

Sekian kali aku melihat kematian, sekian kali melewati pekuburan. Di liang lahat sang jasad sepi sendiri, gelap dalam perut bumi. Cukuplah itu menjadi pengingat, membatasi canda kesenangan dunia.

Hidup ini akan terus berlangsung hingga waktu yang ditetapkan. Di antaranya silih berganti kebaikan dan keburukan. Meluangkan waktu untuk merenung serta mengingat kematian selalu memberikan semangat baru untuk menjaga kebaikan tetap di atas keburukan. Upaya menghisab diri merenungi amal dan dosa senantiasa menumbuhkan energi untuk menjaga diri agar jauh dari keterpurukan.

Sungguh keheningan selalu menjadi saat yang tepat untuk merenung, karena ia adalah lawan dari hiruk pikuk yang melupakan dan melalaikan. Rasulullah mengajarkan manusia untuk merenung dalam keheningan ziarah kubur. Sebagaimana Kalam Allah dalam Al-Muzammil menegaskan heningnya malam sebagai saat untuk sujud mengadu dan menghisab diri.

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).

Syukur kepada-Mu ya Rabbi atas kesempatan merenung malam ini. Detik-detik perenungan sungguh bagaikan setetes embun yang kembali menyegarkan jiwa. Ia bagaikan penahan laju kesibukan dunia untuk sejenak menghela nafas menatap arah, untuk sejenak membuang lupa.
***

Saat Tuhan Memanggilku

Bersyukur adalah menikmati penderitaan sama seperti menikmati kebahagiaan. Mengapa kita harus memilah-milih sesuatu yang diberi oleh Dzat yang sangat menyayangi kita? Tuhan memanggil kita, kadang dengan cara yang meyenangkan hati kita, tapi kita menganggap itu suatu rahmat, hingga kita terlena bahkan lupa dengan kewajiban kita. Akhirnya kita didekatkan dengan Tuhan dengan cara yang menyakitkan. Seperti kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Entah itu materi, seseorang yang sangat kita sayangi, atau jabatan serta kekuasaan yang kita banggakan.

Sadarlah bahwa kita, manusia menuruni sifat-sifatnya. Pernahkah kita berfikir bahwa Tuhan itu pencemburu? Tuhan tak pernah mau diduakan dengan apapun. Seperti saya seorang wanita, tak pernah mau diduakan oleh suami saya. Apalagi buat seorang pria. Tapi mengapa kita sering mengkultuskan sesuatu. Tergila-gila pada seseorang sampai hampir bunuh diri. Haus jabatan sampai halalkan segala cara. Pernahkah kita tergila-gila pada Tuhan, sampai ingin bertemu denganNya secepat mungkin?

Saat itu, Tuhan memanggil saya. Dengan memisahkan saya dari suami saya. Begitu sakit hati saya. Dalam pikiran saya saat itu, mengapa saya? Apa salah saya Tuhan? Mengapa Tuhan kejam? Mengapa Tuhan ingin saya meneteskan airmata? Apa yang Tuhan mau dari saya?

Dalam sebulan saya kehilangan 5 kg berat badan. Tidak bisa tidur, makan, apalagi konsentrasi dengan pekerjaan. Betapa saya sangat kehilangan orang yang saya cintai. Betapa sepi tanpa dia. Betapa saya merasa sangat sendiri, padahal Tuhan bersama saya.

Bulan kedua setelah perpisahan saya dengan suami, saya banyak habiskan waktu dengan membaca. Satu yang saya yakini " BERSAMA KESULITAN PASTI ADA KEMUDAHAN." Saya jadi rajin mengikuti pengajian dan diskusi keagamaan. Jujur, awalnya hanya untuk lupakan suami dan menerima dengan ikhlas walau terpaksa.

Tapi kemudian, manfaat yang saya rasakan sangat mendalam. Membekas dalam relung hati saya. Doa saya yang tadinya meminta agar Tuhan mengembalikan suami saya yang pergi, kemudian berubah agar diberi kesabaran bila harus kehilangan. Minta diberi kekuatan bila harus sendirian menjalani hidup. Minta keikhlasan atas apa yang Tuhan beri.

Selain doa, ternyata usaha juga perlu. Dengan setia saya menunggu suami, kalau-kalau dia menghubungi saya. Menunjukan kasih sayang saya dengan menanyakan kabarnya. Walau kadang ada rasa tidak percaya bahwa dia akan datang pada saya lagi.

Finally, setelah Tuhan "menyentil" saya, saya tersadar. Betapa selama ini saya mendewakan suami saya. Betapa selama ini, hidup dan pikiran saya hanya untuk dia. Padahal dalam sholat ada doa "sesungguhnya sholatku, hidupku, mati hanya untuk Tuhan semesta alam."

Dengan kesadaran dan pemahaman baru, saya merasa tenang. Sampai akhirnya suami yang saya cintai datang lagi. Saya tetap menyayanginya, tentu dengan cara yang berbeda

Sedang Tuhan saja pemarah, mengapa suami saya, manusia yang dituruni sifatNya tidak? Kalo Tuhan saja Maha pengampun dan pemberi maaf, mengapa saya, yang manusia tidak memberi maaf?

Terimalah kemarahan dan kasih sayang sebagai satu paket dari yang kita cintai dengan ikhlas.